Tipologi Ruang/Massa
Nama Ruang
|
Fungsi
|
Pemesuan
/ Kori
|
Gerbang
masuk.
|
Dinding
aling-aling
|
Dipercaya
sebagai penghalau energi negatif yang masuk dari luar.
|
Bale
paon / perapen
|
Dapur.
|
Jineng
/ lumbung
|
Tempat
menyimpan padi
|
Tebe
|
Area
terbuka kosong yang biasanya digunkan sebagai kandang hewan atau kebun.
|
Bale
dauh / tiang sanggah
|
Tempat
tinggal orang tua.
|
Uma
meten / bale daje
|
Rumah
untuk perempuan yang belum menikah.
|
Pemerajaan
/ sanggah kemulan
|
Pura
keluarga.
|
Bale
dangin
|
Rumah
untuk laki-laki dan area kerja.
|
Bale
sakenem
|
Ruang
tinggal keluarga atau area kerja.
|
Tabel : Topologi
Ruang/Massa pada Tiap Unit Rumah Bali
Ruang dalam rumah
tradisional bali berdiri sebagai massa tersendiri. Selain mengikuti filosofi
dasar dan konsepsi-konsepsi yang telah dijabarkan sebelumnya, pola penataan
ruang juga dipengaruhi oleh unsur-unsur panca mahabutha (lima unsur alam:
matahari, angin, air, tanah, api.
3.2.2
Tipologi Istilah
Di Bali Penyebutan Rumah tinggal ditentukan oleh fungsi kasta
yang menempati rumah tersebut, Penyebutan rumah tinggal sesuai dengan tingkat
kasta yang menempati yaitu Puri, Geria, Jero dan Umah.
1.
Geria
Rumah tempat
tinggal untuk kasta Brahmana, Sesuai dengan peranan Brahmana
selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang Geria sebagai
rumah tempat tinggal Brahmana disesuaikan dengan keperluan - keperluan
aktifitasnya.
2.
Puri
Rumah tempat
tinggal untuk kasta Kesatria yang memegang pemerintahan, yang umumnya menempati
bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat desa. Bangunan - bangunan
Puri sebagian besar mengambil type utama, Umumnya Puri dibangun dengan tata
zoning yang berpola "Sanga Mandala" semacam Widegrid/papan catur
berpetak sembilan.
3.
Jero
Rumah tempat
tingal untuk kasta Kesatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung,
Bangunan-bangunananya lebih sederhana dari pada Puri, sesuai fungsinya pola
ruangjero dirancang dengan Triangga : Pemerajan sebagai parhyangan, Jeroan
sebagai area rumah tempat tinggal dan jabaan sebagai area pelayanan umum atau
halaman depan.
4.
U m a h
Rumah tempat
tinggal dari kasta Wesia atau mereka yang bukan dari kasta brahmana atau
kesatria disebut umah. Unit - unit umah dalam perumahan berorientasi ke
natah sebagai halaman pusat aktifitas rumah tangga. Komposisi masa - masa
bangunan umah tempat tinggal menempati bagian - bagian utara, selatan, timur,
barat membentuk halaman natah ditengah. Orientasi masa-masa bangunan kenatah
ditengah.
Dari kori
pintu masuk pekarangan menuju natah barulah menuju ke bangunan yang akan
dimasuki, demikian pula srirkulasi balik ke luar rumah. Sesuai dengan status
sosial dari penghuninya yang sebagian besar adalah petani, maka rumah tempat
yang disebut umah umunya berada dalam tingkatan madia, yang keadaan
pertaniannya kurang menguntungkan umahnyapun berada dalam keadaan
sederhana. Beberapa petani yang status sosialnya cukup tinggi umah tempat
tinggalnya dapat dibangun dengan umah utama.Umah sebagai tempat tinggal
sebagian penduduk umunya dalam keadaan madia, sebagian ada yang sederhana dan
ada pula beberapa yang utama sesuai dengan keadaan penghuninya.
5.
Kubu atau Pekubon
Rumah tempat
tinggal di luar pusat permukiman, di ladang, di perkebunan atau tempat-tempat
kehidupan lainya.Lokasi kubu tersebut tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan
pemukiman, menempati unit-unit perkebunan, atau ladang - ladang yang berjauhan
tanpa penyediaan sarana utilitas.
Tipologi
Bentuk
Bentuk rumah bali pada
dasarnya ditentukan dari jumlah tiang penyangga.
Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakapat, bangunan
bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang sembilan dan
bertiang dua belas. Dari bangunan bertiang dua belas dikembangkan dengan emper
ke depan, dan ke samping dan beberapa variasi masing-masing dengan
penambahan tiang jajar. Tembok penyengker (batas) pekarangan, Kori dan
lumbung dalam bangunan perumahan, tipologinya disesuaikan dengan tingkatan
perumahan yang masing-masing mempunyai fungsi sebagai berikut :
Ø Sakepat (Empat Tiang)
Ø Sakanem (Enam Tiang)
Bangunan sakanem
dalam perumahan tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaiannya
sederhana. Dapat pula digolongkan madya bila ditinjau dari
penyelesaiannya untuk sakanem yang ditinjau dari penyelesaiannya untuk sakanem
yang dibangun dengan bahan dan penyelesaiannya madya. Bentuk sakanem segi
empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebar. Luas bangunan sekitar 6
m x 2 m, mendekati dua kali luas sakapat.
Konstruksi
bangunan terdiri atas 6 berjajar tiga-tiga pada ke dua sisi panjang. Keenam
tiang disatukan oleh satu bale-bale atau empat tiang pada satu bale-bale, dan
dua tiang di teben pada satu bale-bale dengan dua saka pandak. Hubungan
bale-bale dengan konstruksi perangkai sunduk waton, Hkah, dan galar. Dalam
variasinya, sakanem dengan satu bale-bale yang hanya mengikat empat tiang dan
dua tiang di teben sehingga memakai canggahwang karena tidak ada sunduk
pengikat.
Dalam
komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian Kangin atau Kelod untuk
fungsinya sebagai Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai Paon ditempatkan
di bagian Kelod Kauh. Sakenem yang difungsikan sebagai Bale Piyasan di Sanggah
atau di Pamerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti satu tiang
dengan canggah
vang panjang disebut Bale Panca Sari. Konstruksi atap dengan kampiah
atau limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan
tingkat kualitasnya.
Ø Sakatus (Delapan Tiang)
Bangunan sakatus
diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi tunggal
sebagai tempat tidur yang disebut Bale Meten. Letaknya di bagian Kaja
menghadap Kelod ke natah berhadapan dengan Sumanggen. Dalam
proses membangun rumah, sakatus merupakan bangunan awal yang disebut paturon.
Jaraknya delapan tapak kaki dengan mengurip angandang, diukur dari tembok
pekarangan sisi Kaja. Selanjutnya bangunan-bangunan lainnya ditentukan letaknya
dengan jarak-jarak yang diukur dari Bale sakatus.
Bentuk
bangunan segi empat panjang dengan luas sekitar 5 m x 2,5 m. Konstruksi terdiri
dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua bale-bale.
Masing-masing bale memanjang Kaja Kelod dengan kepala ke arah luan Kaja.
Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton, likah, dan galar. Stabilitas
konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang.
Canggahwang tidak terdapat pada bangunan sakutus.
Konstruksi
atap dengan sistem kampiah bukan limasan, difungsikan sebagai sirkulasi udara
selain udara yang melalui celah antara atap dengan kepala dinding. Selain dalam
bentuk sakutus ada pula bangunan bertiang delapan, empat pada sudut dan empat
pada sisi masing-masing. Untuk lumbung yang besar selain Jineng dengan empat
tiang terdapat juga Kelingking atau Gelebeg dengan enam atau delapan tiang.
Dalam
variasinya sakutus diberi atap tonjolan di atas depan pintu. Ada pula yang
dilengkapi dengan emper dengan empat tiang berjajar di depan dengan lantai
emper yang lebih rendah dari lantai utama. Lantai bale sakutus lebih tinggi
dari bangunan lainnya dimaksudkan sebagai estetika, filosofi, dan fungsinya.
Ø Astasari (Delapan Tiang)
Dalam fungsinya sebagai
sumanggen atau piyasan di pamerajan atau sanggah, astasari diklasifikasikan
sebagai bangunan utama. Bangunan ini terletak di bagian kangin atau kelod yang
berfungsi sebagai bale sumanggen, bangunan tempat upacara adat, tamu, dan tempat
bekerja atau ruang serbaguna. Astasari merupakan sebuah bangunan persegi
panjang berukuran 4 x 5 meter dengan tinggi lantai sekitar 0,6 meter yang
terdiri dari 3-4 anak tangga dari natah. Dinding penuh terletak pada sisi
kangin dan kelod, sedangkan dinding setengah sisi dan setengah tinggi terletak
pada sisi teben kauh, dan terbuka ke arah natah.
Ø Tiangsangsa (Sembilan Tiang)
Bentuk dan fungsi
bangunan tiangsanga serupa dengan astasari, namun sedikit lebih luas dan
memiliki tiang 9. Atap bangunan berbentuk limasan dengan puncak dedeleg dan
berpenutup alang-alang. Fungsi utama bangunan tiangsanga adalah untuk
sumanggen, yang terletak di bagian kangin atau kelod. Bangunan ini disebut juga
bale dangin atau bale delod.
Dinding tembok pada dua
atau tiga sisi terbuka ke arah natah. Bangunan tiangsanga dapat pula
difungsikan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah memisah ke arah luan
balai-balai untuk ruang tidur dan ke arah teben untuk ruang duduk. Untuk
tiangsanga yang difungsikan sebagai tempat tidur umumnya menempati bagian barat
menghadap ke timur.
Ø Sakaroras (Dua Belas
Tiang)
Sakaroras
merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bangunan, konstruksi dan
penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk bangunan berdenah bujur
sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Petaka sebagai titik
ikatan konstruksi di puncak atap. Bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah
dengan pembagian empat-empat sebanyak tiga deret dari luan ke teben. Dua
bale-bale masing-masing mengikat empat tiang dengan sunduk, waton, dan likah
sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet di teben dengan canggahwang
sebagai stabilitas konstruksinya.
Bangunan
tertutup di dua sisi dan terbuka ke arah natah. Ke arah teben tertutup dengan
dinding setengah terbuka namun ada pula yang terbuka. Letak bangunan di bagian
Kangin atau Kelod dan terbuka ke arah natah. Fungsi bangunan sakaroras sebagai
Sumanggen untuk kegiatan adat dan bangunan serba guna memiliki luas sekitar 6m
x 6m, mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakenem atau satu
setengah kali luas tiang sanga. Dalam tipologi bangunan perumahan tradisional
Bali, sakepat dengan bale-bale sisi panjang sepanjang tiang dan sisi lebar dua
pertiga panjang tiang merupakan modul dasar. Panjang tiang ditentukan oleh
sisi-sisi penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing jenis kasta, peranan
penghuni, dan kecenderungan yang ingin dicapai.
Bangunan
sakeroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu bale-bale mengikat empat
tiang dibagian tengah. Disebut Gunung Rata atau sakutus handling bila
difungsikan sebagai Bale Meten dengan dedeleg sebagai puncak atapnya. Letaknya
di bagian Kaja menghadap ke natah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar