Filosofi Arsitektur Tradisional Bali
mengandung kaidah-kaidah terkait dengan pandangan relegi dan tata nilai sosial
yang pada hakikatnya memberikan penyelarasan terhadap alam lingkungan demi
keseimbangan hubungan manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos)
dan Maha Pencipta (metakosmos). Hubungan keselarasan dan keseimbangan ini
sangat jelas terlihat dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga kutub
yang menjadi penyebab lahirnya kebahagiaan. Dalam alam semesta ketiga kutub ini
hadir selaku tiga dunia, yakni: bhur sebagai alam bawah tempat bhuta
kala, bwah sebagai alam tengah tempat hidup mausia, dan swah adalah
alam atas tempat para Dewa.
Berdasarkan pandangan kosmologi
ketiga kutub ini menempati arah yang berbeda dengan tingkatan nilai ruangnya
masing-masing, yakni arah terbitnya matahari dan dataran yang paling tinggi
(gunung atau bukit) memilik makna ‘utama’ sebagai tempat kediaman para dewa,
arah terbenamnya matahari dan dataran yang paling rendah (laut) memiliki makna ‘nista’,
sedangkan di bagian tengah sebagai tempat hidup manusia yang bernilai ‘madya’.
Kendatipun nilai ruang ketiga kutub
tersebut berbeda, bukan berarti salah satunya harus dihilangkan atau
dimusnahkan, namun justru dihadirkan bersama-sama. Kehidupan manusia dan alam
semesta akan dapat berperanan secara optimal bila ketiga unsur ini dalam satu
kesatuannya berada dalam keadaan seimbang (balance) dan manunggal.
Arsitektur
rumah tinggal sebagai lingkungan buatan (salah satu bentuk dari alam baru)
diharapkan dapat mengayomi dan mewadahi aktivitas manusia sebagaimana layaknya
alam semesta. Alam buatan inipun diharapkan dapat memberi rasa bahagia serta
memiliki pertalian yang serasi dengan diri manusia selaku isinya. Sejalan
dengan itu, maka rumah tinggal dibuat sebagai duplikat dari alam semesta dengan
menerapkan filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga kutub yang manunggal
pada rumah tinggal, yakni parahyangan (tempat suci) sebagai tempat yang
bernilai utama di arah kaja atau kangin, pawongan (tempat
tinggal manusia) bernilai madya di arah tengah, dan palemahan
(areal servis) sebagi unsur ‘nista’ di arah kelot atau kauh.
Di
samping filososfi yang menjiwai setiap aktivitasnnya sehari-hari di dalam
berarsitektur, terdapat pula konsep arsitektur sebagai tata nilai dan pedoman
yang normatif dalam merancang bangunan, sehingga arsitektur yang ada di tata
dalam suatu komposisi bermakna dalam setiap massa bangunan dan penempatannya.
3.1.1 Prinsip Tritangga dan Prinsip Triloka
Prinsip tria anggaatau tri lokamerupakan konsep keseimbangan kosmologis
yang dicetuskan oleh Empu Kuturan. Dalam prinsip ini terdapat tiga tata nilai
tentang hubungan alam selaku “wadah” dan manusia sebagai “pengisi”. Tata nilai
ini memperlihatkan gradasi tingkatan dengan spirit ketuhanan berada pada
tingkatan paling tinggi.
Secara
aplikatif, filosofi tri angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang
memperlihatkan tiga tingkatan, yaitu kepala badan-kaki. Dari filosofi tri angga
dan tri lokaini, berkembang konsepsi-konsepsi lain, seperti konsep kosmologis
tri hita karana dan konsep orientasi kosmologis
3.1.2 Konsep Kosmologi (Trihitakarana)
Dalam konsep
tri hita karana terdapat “tiga unsur” penghubung antara alam dan manusia untuk
membentuk kesempurnaan hidup, yaitu jiwa, raga, dan tenaga. Tiga sumber
kebahagiaan tersebut akan tercipta dengan memperhatikan keharmonisan hubungan
antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan
alam.
3.1.3 Konsep Orientasi Kosmologi
Dalam orientasi kosmologis di
antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa sanga). Konsepsi ini
lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan dewata nawa
sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap menitikberatkan
upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan
berlandaskan:
- Sumbu
kosmologis/bumi (yaitu gunung-laut), dan
- Sumbu religi/matahari (yaitu terbit-terbenamnya matahari)
Gunung Agung
merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah yang
tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan
terdekat. Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali
seakan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan.
Oleh karena
itu, pengertian kaja
bagi orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan
sebelah selatan menjadi berlainan, padahal patokan
sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-keloddan kangin-kauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar