Pura adalah istilah untuk
tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama
terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu. Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.
terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu. Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Inilah asal mulanya ada
Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara
di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali
dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau
itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang
(sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang
bernama Resi Markandeya.
Beliau
berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara
Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi
ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian
pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah
yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana,
mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas
hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para
pengikutnya.
Sang Yogi
Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama
para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di
tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya
bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya. Saat merabas
hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada
juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara
yadnya (bebanten / sesaji).
Kemudian
perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat
pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu
Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang
baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk
pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak
bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan
pekerjaan ini.
Kali ini
para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di
kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk
bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di
tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi
bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa
Yadnya dan Buta Yadnya.
Setelah
upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan
hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke
utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat
asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar
perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian
tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan
perumahan.
Di tempat di
mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk)
berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan
perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten /
sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana
sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI.
Sejak saat
itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya
serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana
sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari
lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang
seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian
sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin
berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam
ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali
umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor
sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun
di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya
seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan.
Setelah itu
barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan
secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan
tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki.
Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan
pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai
saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa
adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa
Besakih adalah tempat pertama para leluhur yang pindah dari gunung Raung di
Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya
dalam bidang pertanian dan peternakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar