ARMA dirancang
sebagai cerminan filosopis “kosmik” budaya agraris yang utuh dimana setiap
komponen pisikal seperti koleksi, lahan dan
serta isinya memiliki peran masing-masing namun keseluruhannya hadir
secara “integrated”, guna menjelaskan
bahkan menegaskan makna penting dari simbiosis kontruktif dalam hal ini
hubungan antara “man-made art” dengan
“gifted art” (karya alam) yang tampil
lestari dalam ranah tradisi budaya Bali
Pada awalnya areal museum adalah areal
persawahan dan tegalan di subak Padangtegal yang sejak berabad-abad dikelola
secara produktif melalui organisasi Subak Padangtegal. Komunitas Subak berasal
dari wilayah bertetangga yakni Desa Mas, Peliatan dan Ubud dengan komunitas
masyarakat agraris yang mengalami keunikan pengalaman terutama dalam kehidupan
berkesenian, kental dengan rasa pengabdian kreatif berkelanjutan terhadap upaya
pelestarian subak, pengembangan tradisi budaya sebagai akar kehidupan yang
kokoh dalam sistem komunitas. Ketiga Desa merupakan sentra “artisan” yang telah
mengembangkan, melestarikan serta mewariskan kesenian berupa seni patung di
Mas, seni tari di Peliatan dan seni lukis di Ubud.
ARMA tumbuh dalam konteks budaya
agraris dengan panorama alam pedesaan yang asri selain tradisi adat-istiadat
kokoh yang dalam perjalanan panjangnya senantiasa merefleksikan multi dimensi:
sosial, seni, religious entrepreneurship, multi kultur, juga multi perspektif. Local genius dari desa pakraman ini yang
sarat dengan nilai spiritual, estetika, solidaritas etika dan kontekstual
diusung sebagai dokumen teknis dalam pengelolaan museum ARMA yang selanjutnya
ditransformasikan kedalam masterplan mencakup penataan tata ruang, koleksi,
rencana arsitektural, dan fasilitasi lingkungan pendukung, termasuk agenda dan
aktifitas museum sehingga hadir model museum khas dengan wujud gagasan dan perilaku sebagai a living tradition.
Museum ARMA tidak membatasi perannya
pada fungsi sebagaimana layaknya sebuah intitusi pelestarian seni yakni
menyimpan, mengkonservasi, memamerkan secara permanent koleksi penting ARMA
(lukisan tipikal Bali) dan menggelar pameran berkala (temporary exhibition)
berbagai karya seni, tetapi juga mengembangkan kreatifitas menyangkut
keberadaan dan keseimbangan aspek visual
art dan aspek performing art (seni pertunjukan tradisional
Bali) setempat, yang pada tataran praktis merupakan jalur pengabdian
masyarakat, juga peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian secara keseluruhan
ARMA menghadirkan kehidupan masyarakat senyatanya yang keseharian memang
menyatu dengan alam dan lingkungan sosiokulturalnya. Hadir sebagai identitas
budaya, sebagaimana Bali sendiri dengan daya
dukung alam budaya, kultur sosial yang khas, kondusif untuk proses berkarya
seni, yang merupakan sebuah literatur alam, museum hidup dengan sumber
inspirasi berlimpah. Pada tataran praktis, nilai koleksi dan lingkungannya
masing-masing memiliki refrensi “potency
active learning” diinterpretasi
dalam program seni budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar