Sabtu, 18 Juni 2016

2. Exterior - Desa Penglipuran

Ø  Pola desa
Falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia dalam mendayagunakan alam, sehingga terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dalam kawasan desa, yang dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini.

Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa dari leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Secara garis besar pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut :
ü  Pola Hunian
Pola rumah  pada desa Penglipuran berorientasi ke matahari terbit dan tenggelam, yaitu timur “kangin” dan barat “kauh”. Poros tengah yang membagi perumahan di sebelah timur dan barat tersebut, kesehariannya difungsikan sebagai akses sirkulasi, ruang public “sosial”, dan prosesi ritual. Masing-masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih dapat saling berhubungan dari rumah di hulu sampai dengan di hilir melalui celah “peletasan”. Peletasan ini bila saling dihubungkan secara imajiner seolah-olah miniatur dari proses tengah. Di bagian belakang tia-tiap rumah dilengkapi dengan areal sebagai kebun rumah “teben”.
Memasuki daerah kompleks hunian terdiri dari pura (mrajan), dapur, lumbung, bale-bale, dan ruang tidur. Pada satu area rumah letak sanggah (pamerajan) selalu terletak pada sebelah Timur “kangin” bangunan karena merupakan tempat suci.

ü  Pola Permukiman
Permukiman Desa Penglipuran berorientasi ke gunung “kaja” dan ke laut “kelod” yang membentuk pola linier yang membagi hunian menjadi dua bagian. Pola massa desa Penglipuran yang linier ini mengikuti sumbu axis utara-selatan dan mengikuti leveling (transis) yang ada. Akan tetapi, bila pola desanya dikaji Roger dan Barge (dalam Jefta Leibo, 1986: 9), menyebutkan bahwa Penglipuran termasuk desa dengan pola “cluster” atau mengelompok atau disebut juga memusat.  Pada konsep desa ini, tercermin adanya konsep Kahyangan Tiga yang merupakan refleksi batas desa adat, dan merupakan transformasi nilai simbol dari Trilogi, yaitu lahir, hidup, dan mati atau Brahmana, Wisnu, dan Ciwa.
Di samping itu, sebagai penanda orientasi hulu “kaja”, tengah, dan teben “kelod”, atau analogi tubuh manusia yang disebut dengan Tri Angga, yaitu kepala, badan, dan kaki yang sekaligus menjadi tata nilai Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala, yang terbentuk pada desa Penglipuran yang notabene termasuk peninggalan jaman Bali Aga yang berpolakan gunung dan laut.



Ø  Bentuk dan Bahan
Bentuk segi empat mendominasi pada bagian badan bangunan dan segitiga pada bagian kepala bangunan. Setiap komplek hunian memiliki besaran yang berbeda tergantung proporsi tubuh pemiliknya. Jadi, secara tidak langsung bentuk dan dimensi hunian merupakan pencerminan dari pemiliknya. Penggunaan bahan-bahan alam yang tersedia di alam sekitarnya dan bentuk-bentuk yang sangat harmonis dengan lingkungannya adalah buah pemikiran leluhur yang luar biasa.

Ø  Bangunan Suci/Parahyangan
Pada bagian Parhyangan terdapat Kori Agung yang memiliki ketinggian ± 6 meter dengan bukan kecil pada bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pintu masuk (entrance). Kori Agung ini memiliki tujuh  anak tangga, bagian atas kori memiliki ornament dari berbagai jenis patra dan kekarangan, sehingga memberikan kesan seperti mahkota raja. Dalam Pura Penataran terdapat pelinggih-pelinggih kecil, meru tumpang tiga, bale agung, gedong, dan bale panjang dengan bahan pada bagian kakinya menggunakan batu paras, bagian badannya menggunakan kayu dan pada bagian kepala (atap) menggunakan bambu.


Ø  Bangunan Pawongan 


Pada bagian pawongan terdapat hunian penduduk yang di dalamnya terdapat pura (merajan), dapur, ruang tidur, lumbung dan bale adat (bale sakanam). Angkul-angkul sebagai pintu masuk hunian menggunakan sistem pondasi umpak (setempat) dengan bahan terbuat dari batu padas. Selain hunian terdapat pula banjar, wantilan serba guna, pos jaga, areal parkir pengunjung, dan angkul-angkul desa sebagai main entrance, kantor regritasi, toilet, dan tempat jual sovenir.

Jalan tengah desa (rurung gede), gang/jalan setapak serta pertamanan desa juga terletak di areal pawongan, yaitu masuk dalam bagian tengah. Dalam areal pawongan tersebut merupakan areal perumahan dengan sarana dan prasarananya. Pura (merajan) menggunakan bahan batu alam pada bagian lantainya, sedangkan konstruksinya menggunakan bahan kayu dan ada juga yang mengaplikasikan bambu untuk atap dan sebagian lagi tidak menggunakan ijuk, namun telah menggunakan bahan modern baik seng maupun genteng.
Bale Adat menggunakan balok dengan bentang 4,6 m dengan besar 12/15, dengan menggunakan kayu yang kualitas bahannya dapat mencapai 15-20 tahun. Lantainya terbuat dari bahan paras, semen, serta batu bata, sedangkan untuk bahan atapnya menggunakan bahan dari sirap bambu dengan bentang 4,6 m, seng dan genteng. Jenis sambungan yang digunakan oleh kayu dan bambu adalah jenis sambungan pelana. 
Pada bagian dapur menggunakan balok dengan bentang ± 3 m, dengan besaran balok 10/10 dan tiang bambu, memakai bambu yang berkualitas baik. Lantai menggunakan tanah tidak berpola dengan jenis tanah biasa dipadatkan dengan tinggi 60-100 cm. Atap menggunakan bahan kayu dan sumbu yang berbentuk sirap, seng dan genteng.
Dapur difungsikan juga sebagai ruang tidur menggunakan sistem pondasi umpak dengan bahan dari batu padas. Kolomnya memiliki bentang ± 2,5 m, besar kolom 10/10, modul yang digunakan adalah bujur sangkar dengan menggunakan kayu nangka. Dinding yang digunakan adalah anyaman bambu (bedeg), serta atap yang ditutup dengan sirap bambu.
Pada jineng (lumbung) menggunakan bilik dengan bentang ± 1,5 m dengan ukuran balok kayu yang digunakan adalah 10/15. Lantai menggunakan bahan tanah, kayu dan bambu disusun atau dipasang horizontal dengan ketinggian dari tanah ± 1 m. Bahan atap terdiri dari rangka kayu dengan penutup atap seng, dengan bentang ± 1,5 m, serta atap yang berbentuk perisai dengan struktur kayu dan memiliki plafon dari bambu dipasang secara horisontal. Penutup dinding menggunakan bahan anyaman bambu (bedeg) dengan kolom dari kayu yang berkualitas baik.
Selain bangunan hunian daerah pawongan terdapat pula “bale banjar” yang biasa digunakan untuk pertemuan warga dan untuk acara-acara kemasyarakatan. Memiliki bentangan balok ± 3,6 m, besar kolom 10/10 dengan kualitas bahan yang baik. Lantai menggunakan bahan tanah liat atau tanah biasa yang dipadatkan dengan ketinggian lantai ± 60 cm, serta memiliki luasan 18 m2. Atap menggunakan bahan alang-alang dan jenis penutup atapnya adalah perisai atau limasan dengan struktur dari kayu.
Sistem pondasi menggunakan pondasi umpak dengan menggunakan bahan batu padas dengan bentang antar kolom 1,5-2,5 m, besar kolom antara 15/15. Modul dari bangunan yang digunakan adalah bentuk bujur sangkar dengan menggunakan bahan dari kayu nangka. Pada bale banjar ini terdapat bale kul-kul, dengan kentongan pada bagian atasnya, yang berfungsi untuk komunikasi nonverbal dengan masyarakat. Bahan yang digunakan untuk bale kul-kul adalah batu bata merah.
Pada daerah pawongan pada ujung paling selatan terdapat suatu lahan yang disebut “karang memadu/karang madu”, yaitu satu unit pekarangan yang khusus disediakan oleh Desa Adat, dan diperuntukan bagi krama desa yang melakukan poligami (memiliki istri lebih dari satu). Namun, sampai saat ini belum ada krama desa yang ditempatkan di Karang Memadu.
Ø  Bangunan Palemahan
Daerah palemahan terdapat beberapa bangunan antara lain taman makam Pahlawan Anak Agung Anom Mudita, wantilan dalam makam, sekolah dasar, pondokan dan areal hutan bambu. Bangunan wantilan yang terdapat dalam taman makam pahlawan ini digunakan sebagai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peringatan / hari pahlawan, yang pada bagian lantainya menggunakan bahan traso serta bahan kayu digunakan pada bagian balok, kolom, dan struktur atapnya.
Untuk penutup atapnya menggunakan seng, sedangkan bahan yang digunakan pada makam ini adalah batu bata merah. Ujung selatan dari daerah palemahan terdapat fasilitas umum, yaitu kuburan (setra) untuk masyarakat Penglipuran. Keberadaan dari kuburan bagi masyarakat Penglipuran sangatlah penting, karena di desa Penglipuran tidak dilakukan prosesi pembakaran mayat selayaknya dilakukan oleh umat Hindu daerah lain di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar