Ø Pola desa
Falsafah hubungan yang selaras antara
alam dan manusia, dan kearifan manusia dalam mendayagunakan alam, sehingga
terbentuk ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang
diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan).
Konsep ini terlihat jelas dalam kawasan desa, yang dijabarkan dalam tata letak
dalam desa ini.
Pola desa yang terbentuk tak lepas dari
pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa dari
leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Secara garis besar pola tersebut
terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut :
ü Pola Hunian
Pola rumah pada desa Penglipuran berorientasi ke matahari
terbit dan tenggelam, yaitu timur “kangin” dan barat “kauh”. Poros tengah yang
membagi perumahan di sebelah timur dan barat tersebut, kesehariannya
difungsikan sebagai akses sirkulasi, ruang public “sosial”, dan prosesi ritual.
Masing-masing rumah walaupun dibatasi dengan tembok pekarangan, namun masih
dapat saling berhubungan dari rumah di hulu sampai dengan di hilir melalui
celah “peletasan”. Peletasan ini bila saling dihubungkan secara imajiner
seolah-olah miniatur dari proses tengah. Di bagian belakang tia-tiap rumah
dilengkapi dengan areal sebagai kebun rumah “teben”.
Memasuki daerah kompleks hunian terdiri
dari pura (mrajan), dapur, lumbung, bale-bale, dan ruang tidur. Pada satu area
rumah letak sanggah (pamerajan) selalu terletak pada sebelah Timur “kangin”
bangunan karena merupakan tempat suci.
ü Pola Permukiman
Permukiman Desa Penglipuran berorientasi
ke gunung “kaja” dan ke laut “kelod” yang membentuk pola linier yang membagi
hunian menjadi dua bagian. Pola massa desa Penglipuran yang linier ini
mengikuti sumbu axis utara-selatan dan mengikuti leveling (transis) yang ada.
Akan tetapi, bila pola desanya dikaji Roger dan Barge (dalam Jefta Leibo, 1986:
9), menyebutkan bahwa Penglipuran termasuk desa dengan pola “cluster” atau
mengelompok atau disebut juga memusat. Pada
konsep desa ini, tercermin adanya konsep Kahyangan Tiga yang merupakan refleksi
batas desa adat, dan merupakan transformasi nilai simbol dari Trilogi, yaitu
lahir, hidup, dan mati atau Brahmana, Wisnu, dan Ciwa.
Di samping itu, sebagai penanda
orientasi hulu “kaja”, tengah, dan teben “kelod”, atau analogi tubuh manusia
yang disebut dengan Tri Angga, yaitu kepala, badan, dan kaki yang sekaligus
menjadi tata nilai Utama Mandala, Madya
Mandala, dan Nista Mandala, yang terbentuk pada desa Penglipuran yang
notabene termasuk peninggalan jaman Bali Aga yang berpolakan gunung dan laut.
Ø Bentuk dan Bahan
Bentuk segi empat mendominasi pada
bagian badan bangunan dan segitiga pada bagian kepala bangunan. Setiap komplek
hunian memiliki besaran yang berbeda tergantung proporsi tubuh pemiliknya.
Jadi, secara tidak langsung bentuk dan dimensi hunian merupakan pencerminan
dari pemiliknya. Penggunaan bahan-bahan alam yang tersedia di alam sekitarnya
dan bentuk-bentuk yang sangat harmonis dengan lingkungannya adalah buah
pemikiran leluhur yang luar biasa.
Ø Bangunan Suci/Parahyangan
Pada bagian Parhyangan
terdapat Kori Agung yang memiliki ketinggian ± 6 meter dengan bukan kecil pada
bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pintu masuk (entrance). Kori Agung ini
memiliki tujuh anak tangga, bagian atas
kori memiliki ornament dari berbagai jenis patra dan kekarangan, sehingga
memberikan kesan seperti mahkota raja. Dalam Pura Penataran terdapat
pelinggih-pelinggih kecil, meru tumpang tiga, bale agung, gedong, dan bale
panjang dengan bahan pada bagian kakinya menggunakan batu paras, bagian badannya
menggunakan kayu dan pada bagian kepala (atap) menggunakan bambu.
Ø Bangunan
Pawongan
Pada bagian pawongan terdapat hunian penduduk yang
di dalamnya terdapat pura (merajan), dapur, ruang tidur, lumbung dan bale adat
(bale sakanam). Angkul-angkul sebagai pintu masuk hunian menggunakan sistem
pondasi umpak (setempat) dengan bahan terbuat dari batu padas. Selain hunian
terdapat pula banjar, wantilan serba guna, pos jaga, areal parkir pengunjung,
dan angkul-angkul desa sebagai main entrance, kantor regritasi, toilet, dan
tempat jual sovenir.
Jalan tengah desa (rurung gede),
gang/jalan setapak serta pertamanan desa juga terletak di areal pawongan, yaitu
masuk dalam bagian tengah. Dalam areal pawongan tersebut merupakan areal
perumahan dengan sarana dan prasarananya. Pura (merajan) menggunakan bahan batu
alam pada bagian lantainya, sedangkan konstruksinya menggunakan bahan kayu dan
ada juga yang mengaplikasikan bambu untuk atap dan sebagian lagi tidak
menggunakan ijuk, namun telah menggunakan bahan modern baik seng maupun
genteng.
Bale Adat menggunakan balok dengan
bentang 4,6 m dengan besar 12/15, dengan menggunakan kayu yang kualitas
bahannya dapat mencapai 15-20 tahun. Lantainya terbuat dari bahan paras, semen,
serta batu bata, sedangkan untuk bahan atapnya menggunakan bahan dari sirap
bambu dengan bentang 4,6 m, seng dan genteng. Jenis sambungan yang digunakan
oleh kayu dan bambu adalah jenis sambungan pelana.
Pada bagian dapur menggunakan balok
dengan bentang ± 3 m, dengan besaran balok 10/10 dan tiang bambu, memakai bambu
yang berkualitas baik. Lantai menggunakan tanah tidak berpola dengan jenis
tanah biasa dipadatkan dengan tinggi 60-100 cm. Atap menggunakan bahan kayu dan
sumbu yang berbentuk sirap, seng dan genteng.
Dapur difungsikan juga sebagai ruang
tidur menggunakan sistem pondasi umpak dengan bahan dari batu padas. Kolomnya
memiliki bentang ± 2,5 m, besar kolom 10/10, modul yang digunakan adalah bujur
sangkar dengan menggunakan kayu nangka. Dinding yang digunakan adalah anyaman
bambu (bedeg), serta atap yang ditutup dengan sirap bambu.
Pada jineng (lumbung) menggunakan bilik
dengan bentang ± 1,5 m dengan ukuran balok kayu yang digunakan adalah 10/15.
Lantai menggunakan bahan tanah, kayu dan bambu disusun atau dipasang horizontal
dengan ketinggian dari tanah ± 1 m. Bahan atap terdiri dari rangka kayu dengan
penutup atap seng, dengan bentang ± 1,5 m, serta atap yang berbentuk perisai
dengan struktur kayu dan memiliki plafon dari bambu dipasang secara horisontal.
Penutup dinding menggunakan bahan anyaman bambu (bedeg) dengan kolom dari kayu
yang berkualitas baik.
Selain bangunan hunian daerah pawongan
terdapat pula “bale banjar” yang biasa digunakan untuk pertemuan warga dan
untuk acara-acara kemasyarakatan. Memiliki bentangan balok ± 3,6 m, besar kolom
10/10 dengan kualitas bahan yang baik. Lantai menggunakan bahan tanah liat atau
tanah biasa yang dipadatkan dengan ketinggian lantai ± 60 cm, serta memiliki
luasan 18 m2. Atap menggunakan bahan alang-alang dan jenis penutup atapnya
adalah perisai atau limasan dengan struktur dari kayu.
Sistem pondasi menggunakan pondasi umpak
dengan menggunakan bahan batu padas dengan bentang antar kolom 1,5-2,5 m, besar
kolom antara 15/15. Modul dari bangunan yang digunakan adalah bentuk bujur
sangkar dengan menggunakan bahan dari kayu nangka. Pada bale banjar ini
terdapat bale kul-kul, dengan kentongan pada bagian atasnya, yang berfungsi
untuk komunikasi nonverbal dengan masyarakat. Bahan yang digunakan untuk bale
kul-kul adalah batu bata merah.
Pada daerah pawongan pada ujung paling
selatan terdapat suatu lahan yang disebut “karang memadu/karang madu”, yaitu
satu unit pekarangan yang khusus disediakan oleh Desa Adat, dan diperuntukan
bagi krama desa yang melakukan poligami (memiliki istri lebih dari satu).
Namun, sampai saat ini belum ada krama desa yang ditempatkan di Karang Memadu.
Ø Bangunan Palemahan
Daerah palemahan terdapat beberapa
bangunan antara lain taman makam Pahlawan Anak Agung Anom Mudita, wantilan
dalam makam, sekolah dasar, pondokan dan areal hutan bambu. Bangunan wantilan
yang terdapat dalam taman makam pahlawan ini digunakan sebagai
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peringatan / hari pahlawan, yang pada
bagian lantainya menggunakan bahan traso serta bahan kayu digunakan pada bagian
balok, kolom, dan struktur atapnya.
Untuk penutup atapnya menggunakan seng,
sedangkan bahan yang digunakan pada makam ini adalah batu bata merah. Ujung
selatan dari daerah palemahan terdapat fasilitas umum, yaitu kuburan (setra)
untuk masyarakat Penglipuran. Keberadaan dari kuburan bagi masyarakat
Penglipuran sangatlah penting, karena di desa Penglipuran tidak dilakukan
prosesi pembakaran mayat selayaknya dilakukan oleh umat Hindu daerah lain di
Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar