Sabtu, 18 Juni 2016

Sejarah - Museum Agung Rai Bali

ARMA dirancang sebagai cerminan filosopis “kosmik” budaya agraris yang utuh dimana setiap komponen pisikal seperti koleksi, lahan dan  serta isinya memiliki peran masing-masing namun keseluruhannya hadir secara “integrated”, guna menjelaskan bahkan menegaskan makna penting dari simbiosis kontruktif dalam hal ini hubungan antara “man-made art” dengan “gifted art” (karya alam) yang tampil lestari dalam ranah tradisi budaya Bali

          Pada awalnya areal museum adalah areal persawahan dan tegalan di subak Padangtegal yang sejak berabad-abad dikelola secara produktif melalui organisasi Subak Padangtegal. Komunitas Subak berasal dari wilayah bertetangga yakni Desa Mas, Peliatan dan Ubud dengan komunitas masyarakat agraris yang mengalami keunikan pengalaman terutama dalam kehidupan berkesenian, kental dengan rasa pengabdian kreatif berkelanjutan terhadap upaya pelestarian subak, pengembangan tradisi budaya sebagai akar kehidupan yang kokoh dalam sistem komunitas. Ketiga Desa merupakan sentra “artisan” yang telah mengembangkan, melestarikan serta mewariskan kesenian berupa seni patung di Mas, seni tari di Peliatan dan seni lukis di Ubud.
            ARMA tumbuh dalam konteks budaya agraris dengan panorama alam pedesaan yang asri selain tradisi adat-istiadat kokoh yang dalam perjalanan panjangnya senantiasa merefleksikan multi dimensi: sosial, seni, religious entrepreneurship, multi kultur, juga multi perspektif. Local genius dari desa pakraman ini yang sarat dengan nilai spiritual, estetika, solidaritas etika dan kontekstual diusung sebagai dokumen teknis dalam pengelolaan museum ARMA yang selanjutnya ditransformasikan kedalam masterplan mencakup penataan tata ruang, koleksi, rencana arsitektural, dan fasilitasi lingkungan pendukung, termasuk agenda dan aktifitas museum sehingga hadir model museum khas  dengan wujud gagasan dan perilaku sebagai a living tradition.
            Museum ARMA tidak membatasi perannya pada fungsi sebagaimana layaknya sebuah intitusi pelestarian seni yakni menyimpan, mengkonservasi, memamerkan secara permanent koleksi penting ARMA (lukisan tipikal Bali) dan menggelar pameran berkala (temporary exhibition) berbagai karya seni, tetapi juga mengembangkan kreatifitas menyangkut keberadaan dan keseimbangan aspek visual art dan aspek performing art (seni pertunjukan tradisional Bali) setempat, yang pada tataran praktis merupakan jalur pengabdian masyarakat, juga peningkatan kesejahteraan masyarakat.

            Dengan demikian secara keseluruhan ARMA menghadirkan kehidupan masyarakat senyatanya yang keseharian memang menyatu dengan alam dan lingkungan sosiokulturalnya. Hadir sebagai identitas budaya, sebagaimana Bali sendiri dengan daya dukung alam budaya, kultur sosial yang khas, kondusif untuk proses berkarya seni, yang merupakan sebuah literatur alam, museum hidup dengan sumber inspirasi berlimpah. Pada tataran praktis, nilai koleksi dan lingkungannya masing-masing memiliki refrensi “potency active learning” diinterpretasi dalam program seni budaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar