Sabtu, 18 Juni 2016

Filosofi Arsitektur Bali

Filosofi Arsitektur Tradisional Bali mengandung kaidah-kaidah terkait dengan pandangan relegi dan tata nilai sosial yang pada hakikatnya memberikan penyelarasan terhadap alam lingkungan demi keseimbangan hubungan manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos) dan Maha Pencipta (metakosmos). Hubungan keselarasan dan keseimbangan ini sangat jelas terlihat dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga kutub yang menjadi penyebab lahirnya kebahagiaan. Dalam alam semesta ketiga kutub ini hadir selaku tiga dunia, yakni: bhur sebagai alam bawah tempat bhuta kala, bwah sebagai alam tengah tempat hidup mausia, dan swah adalah alam atas tempat para Dewa.

Berdasarkan pandangan kosmologi ketiga kutub ini menempati arah yang berbeda dengan tingkatan nilai ruangnya masing-masing, yakni arah terbitnya matahari dan dataran yang paling tinggi (gunung atau bukit) memilik makna ‘utama’ sebagai tempat kediaman para dewa, arah terbenamnya matahari dan dataran yang paling rendah (laut) memiliki makna ‘nista’, sedangkan di bagian tengah sebagai tempat hidup manusia yang bernilai ‘madya’.
Kendatipun nilai ruang ketiga kutub tersebut berbeda, bukan berarti salah satunya harus dihilangkan atau dimusnahkan, namun justru dihadirkan bersama-sama. Kehidupan manusia dan alam semesta akan dapat berperanan secara optimal bila ketiga unsur ini dalam satu kesatuannya berada dalam keadaan seimbang (balance) dan manunggal.
Arsitektur rumah tinggal sebagai lingkungan buatan (salah satu bentuk dari alam baru) diharapkan dapat mengayomi dan mewadahi aktivitas manusia sebagaimana layaknya alam semesta. Alam buatan inipun diharapkan dapat memberi rasa bahagia serta memiliki pertalian yang serasi dengan diri manusia selaku isinya. Sejalan dengan itu, maka rumah tinggal dibuat sebagai duplikat dari alam semesta dengan menerapkan filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga kutub yang manunggal pada rumah tinggal, yakni parahyangan (tempat suci) sebagai tempat yang bernilai utama di arah kaja atau kangin, pawongan (tempat tinggal manusia) bernilai madya di arah tengah, dan palemahan (areal servis) sebagi unsur ‘nista’ di arah kelot atau kauh.
Di samping filososfi yang menjiwai setiap aktivitasnnya sehari-hari di dalam berarsitektur, terdapat pula konsep arsitektur sebagai tata nilai dan pedoman yang normatif dalam merancang bangunan, sehingga arsitektur yang ada di tata dalam suatu komposisi bermakna dalam setiap massa bangunan dan penempatannya.
3.1.1  Prinsip Tritangga dan Prinsip Triloka
Prinsip tria anggaatau tri lokamerupakan konsep keseimbangan kosmologis yang dicetuskan oleh Empu Kuturan. Dalam prinsip ini terdapat tiga tata nilai tentang hubungan alam selaku “wadah” dan manusia sebagai “pengisi”. Tata nilai ini memperlihatkan gradasi tingkatan dengan spirit ketuhanan berada pada tingkatan paling tinggi.
Secara aplikatif, filosofi tri angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang memperlihatkan tiga tingkatan, yaitu kepala badan-kaki. Dari filosofi tri angga dan tri lokaini, berkembang konsepsi-konsepsi lain, seperti konsep kosmologis tri hita karana dan konsep orientasi kosmologis
3.1.2  Konsep Kosmologi (Trihitakarana)
Dalam konsep tri hita karana terdapat “tiga unsur” penghubung antara alam dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup, yaitu jiwa, raga, dan tenaga. Tiga sumber kebahagiaan tersebut akan tercipta dengan memperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.
3.1.3   Konsep Orientasi Kosmologi
Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap menitikberatkan upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan berlandaskan:

  • Sumbu kosmologis/bumi (yaitu gunung-laut), dan
  • Sumbu religi/matahari (yaitu terbit-terbenamnya matahari)


Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kajake arah gunung dan kelodke arah laut).

Gunung Agung merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah yang tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan terdekat. Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. 
Oleh karena itu, pengertian kaja bagi orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-keloddan kangin-kauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar